Minggu, 09 November 2014

REVOLUSI ZIONIS


Zionisme tampil sebagai gerakan nasionalis separatis dengan empat tujuan utama:
Dari semua gerakan kolektif yang mulai merubah masyarakat di abad dua puluh, hanya Zionisme yang masih tertinggal sebagai jejak terakhir. Zionis mau pun lawan-lawan mereka sama-sama setuju bahwa Zionisme dan Negara Israel yang lahir darinya di pertengahan abad ke-dua puluh ini merupakan pukul anter besar dalam seluruh sejarah Yahudi.
Membahas Yahudi di abad sembilan belasan mengisyaratkan sebuah konotasi normatif: penganut Yahudi adalah orang yang tingkah lakunya secara definitif harus mewakili beberapa prinsip tertentu yang berakar dari Yudaisme, yang menjadi kemufakatan (common denominator) bagi komunitas Yahudi. Mengutip Rabbi Amerika-Jerman, Simon Schwab (1908-1993):
kaum Yahudi di setiap benua menjalani kehidupan mereka masing-masing, mengabdi pada budaya Suci mereka, terpisah dari sejarah politis dunia di sekeliling mereka, yang telah memberkati mereka dengan kepahitan cinta jika bukan kebencian tanpa batas… Dalam Yudaisme, hanya ada satu penafsiran tentang cita-cita, sejarah, dan masa depan Yahudi yang absah. Kesetiaan pada Hukum Tuhan adalah tujuan puncak setiap individu. Kesetiaan ini juga menjadi landasan eksistensi bangsa ini, persatuan kebangsaan Israel yang tetap bertahan di antara runtuhnya seluruh independensipolitis Yahudi.
Sekulerisme yang menyapu seluruh Eropa telah menghasilkan perubahan radikal terhadap identitas Yahudi dan meletakkan landasan bagi Zionisme. Dari identitas yang normatif, keyahudian berubah menjadi identitas deskriptif, yang membuka dirinya untuk sebuah penafsiran separatis.

1.      Merubah identitas Yahudi internasional yang berpusat pada Taurat menjadi identitas nasional yang yang dicontohkan oleh bangsa-bangsa lain di Eropa;
2.      Mengembangkan bahasa baru, sebuah bahasa nasional yang bersumber pada bahasa Ibrani dalam Injil dan jaran agama Yahudi;
3.      memindahkan kaum Yahudi dari negara-negara asal mereka ke Palestina;
4.      menegakkan kontrol ekonomi dan politik atas Tanah Suci.
Shlomo Avineri, ilmuwan politik Israel dan mantan dirjen Kantor Luar Negeri Israel, menyatakan bahwa memandang Zionisme sebagai bagian dari ajaran Yahudi tentang “keterikatan dengan Tanah Bangsa Israel” adalah dangkal, dicocok-cocokkan, dan menyedihkan. Sebaliknya, yang seharusnya dibahas adalah revolusi kesadaran kaum Yahudi, dan sudah tentubukan kesimpulan logis tentang kerinduan mereka yang telah berabad-abad pada Tanah Suci
Dapat disimpulkan bahwa agama yahudi adalah agama yang memiliki misi untuk mensejahterakan uimat vmanusia seduni dengan ajarannya yang bermula dari Abraham (nabi Ibrohim) yang di teruskan oleh Ishaq dan Yaqub. Karena Ishak dan Yakub menurunkan bangsa Yahudi, maka mereka meyakini bahwa merekalah bangsa yang terpilih. Penganut Yahudi dipilih untuk melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab khusus, seperti mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dan beriman kepada Tuhan. Sebagai balasannya, mereka akan menerima cinta serta perlindungan Tuhan. Tuhan kemudian menganugerahkan mereka Sepuluh Perintah Tuhan melalui pemimpin mereka, “Musa”. kemudian mereka penganut Yahudi mengikuti peraturan dalam memilih makanan yang tertulis di dalam Taurat yang melarang campuran susu dengan daging. Daging babi juga dilarang dalam agama Yahudi. Makanan yang disediakan harus menuruti undang-undang tersebut, dan daging harus disembelih oleh kaum Rabi, dinamakan kosyer. Dan dengan kata lain bahwa umat yahudi pun memiliki tata aturan yang mengolongkan mereka kepada golongan yang taat, yaitu golongan yang mengikuti aturan yang tertulis di kitab-kitab undang-undang  kaum yahudi. Hanya dari orang-orang yang taatlah yang bisa mendapatkasn rahmat dari Tuhan.

abstrak zionis




Sebuah penilaian mengagumkan tentang oposisi Yahudi terhadap Zionisme di Tanah Suci dan sebuah pan dangan tentang Timur Tengah “pasca-Israel.”
Dari semua gerakan kolektif yang mulai merubah masyarakat di abad dua puluh, hanya Zionisme yang masih tertinggal sebagai jejak terakhir. Zionis mau pun lawan-lawan mereka sama-sama setuju bahwa Zionisme dan Negara Israel yang lahir darinya di pertengahan abad ke-dua puluh ini merupakan pukul anter besar dalam seluruh sejarah Yahudi.
Membahas Yahudi di abad sembilan belasan mengisyaratkan sebuah konotasi normatif: penganut Yahudi adalah orang yang tingkah lakunya secara definitif harus mewakili beberapa prinsip tertentu yang berakar dari Yudaisme, yang menjadi kemufakatan (common denominator) bagi komunitas Yahudi. Mengutip Rabbi Amerika-Jerman, Simon Schwab (1908-1993):
kaum Yahudi di setiap benua menjalani kehidupan mereka masing-masing, mengabdi pada budaya Suci mereka, terpisah dari sejarah politis dunia di sekeliling mereka, yang telah memberkati mereka dengan kepahitan cinta jika bukan kebencian tanpa batas… Dalam Yudaisme, hanya ada satu penafsiran tentang cita-cita, sejarah, dan masa depan Yahudi yang absah. Kesetiaan pada Hukum Tuhan adalah tujuan puncak setiap individu. Kesetiaan ini juga menjadi landasan eksistensi bangsa ini, persatuan kebangsaan Israel yang tetap bertahan di antara runtuhnya seluruh independensipolitis Yahudi.
Sekulerisme yang menyapu seluruh Eropa telah menghasilkan perubahan radikal terhadap identitas Yahudi dan meletakkan landasan bagi Zionisme. Dari identitas yang normatif, keyahudian berubah menjadi identitas deskriptif, yang membuka dirinya untuk sebuah penafsiran separatis.